PENDIDIKAN - Pernah dengar tentang Bahlil Lahadalia yang lulus S3 dalam waktu 1, 5 tahun? Yap, Anda tidak salah baca! Di saat banyak orang bergelut selama bertahun-tahun demi gelar doktoral, dia menuntaskan semuanya hanya dalam 18 bulan. Tentu saja, kelulusan cepat ini langsung menjadi bahan perbincangan hangat. Ada yang kagum, ada yang mendukung, tapi banyak juga yang berkerut dahi dan menebar kritik. Seolah-olah ada yang salah dengan orang yang menuntaskan sesuatu lebih cepat dari jadwal "normal."
Tapi mari kita tanya hal yang lebih mendasar: siapa bilang pendidikan harus lambat? Bayangkan pendidikan sebagai ladang. Kalau kita bisa panen lebih cepat, kenapa harus menunggu tiga bulan? Kalau kita punya bibit unggul yang bisa dipanen dalam dua bulan, mengapa harus mempertahankan jadwal tradisional? Mengapa pendidikan harus mengikuti aturan "lambat itu mulia, " padahal esensi pendidikan justru agar kita bisa bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan lebih cerdas?
Bahlil, dengan segala kontroversinya, justru mengajarkan kita satu hal penting, bahwa pendidikan bukanlah soal waktu, tapi soal kualitas dan hasil. Sebaliknya, bagi sebagian orang, berita ini mungkin seperti bom waktu, menggelitik rasa iri atau menantang pola pikir kuno tentang apa itu pendidikan ideal. Dan mungkin inilah alasan mengapa banyak yang kurang senang. Mereka yang mengkritik sepertinya terjebak dalam romantisme pendidikan yang harus "dinikmati" lama-lama, terlepas dari apakah itu benar-benar membuat mereka lebih baik.
Apakah pendidikan doktoral semata-mata soal duduk di bangku kuliah selama bertahun-tahun? Atau lebih dari itu, soal ketajaman berpikir, kemampuan menyusun penelitian yang bermanfaat, dan kontribusi pada ilmu pengetahuan? Jika Bahlil sudah memenuhi semua syarat itu, mengapa harus menunggu lebih lama?
Baca juga:
Ustadz Adi Hidayat: Rahasia Shalat 5 Waktu
|
Di tengah gemuruh kritik, ada baiknya kita berhenti sejenak dan merenung, apakah tujuan utama pendidikan adalah untuk menambah tahun atau untuk melahirkan orang-orang yang lebih cerdas, lebih siap, dan lebih berdampak? Lagipula, bukankah pendidikan yang efisien lebih relevan di zaman di mana waktu adalah sumber daya yang tak ternilai?
Pada akhirnya, mungkin saja kritik terhadap kelulusan cepat ini lebih merefleksikan rasa tidak suka, perasaan "mengapa dia dan bukan saya?" daripada masalah substansial. Maka, daripada terus bertanya “kenapa Bahlil bisa lulus cepat?”, mungkin pertanyaannya adalah: “Kenapa kita tidak bisa lebih cepat?”
Jakarta, 15 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi